Ovullum dan Segumpal Darah (2)

Pementasan yang semula berjudul Tambologi #2: Ovullum dan Segumpal Darah, hadir sebagai Produksi ketiga Teater Tambologi. Pementasan ini ditanggapi oleh para kritikus dan pengamat teater, maupun para jurnalis Sumatera Barat-salah satunya dari Romi Mardela. Reviu kritis yang cukup panjang ditulis oleh Pinto Anugerah.

(d/h Baca! Bacalah Atas Nama: Pementasan Tambologi 2, STSI Padangpanjang, Oleh: Pinto Anugrah)

Pementasan dibuka dengan narasi “baca” yang lumayan panjang dari seorang perempuan, yang menjelaskan inti dari cerita pementasan. Seorang perempuan, dengan narasi tersebut, sudah menyimbolkan Minangkabau dengan segala pergelutannya—ya, masih dengan persoalan matrilineal Minangkabau, yang terkandung di dalam tambo atau undang-undang Minangkabau.

Baca! Kita pun dibawa membaca Minangkabau malam itu dengan pementasan yang berjudul Tambologi 2, karya dan sutradara Wendi HS, pada tanggal 4 November 2008 di Teater Kecil Taman Budaya Sumatra Barat, Padang. Struktur cerita yang rapi, walau komunikasi visualnya banyak dilakukan dengan tubuh—dengan sedikit bahasa mulut—tapi kita dapat mengikuti alur ceritanya dari awal sampai akhir.

Bacalah Tambo (ataukah Kaba)

Cerita dimulai dengan munculnya pergelutan tubuh yang dipadu dengan permainan cahaya. Menandakan seperti sebuah prolog. Perempuan muncul di atas sebuah level dengan narasi “baca”, seperti yang telah diceritakan pada awal tadi. Selanjutnya di tengah panggung, tubuh-tubuh yang terbungkus dan terikat mulai menggeliat. Tubuh-tubuh itu saling terikat pada satu titik di bagian atas panggung dan seluruh tubuh itu terbungkus dengan plastik. Tentu saja bentuk visual seperti itu membawa ingatan kepada sebuah rahim yang menyimpan orok-orok manusia.

Tubuh-tubuh itu saling menggeliat, bahkan mencoba untuk berontak keluar dari kantong-kantong rahim tersebut. Lalu seakan tubuh-tubuh itu sedang melakonkan lakonkan kehidupan sebenarnya—yang akan mereka hadapi. Sebenarnya lakon tubuh-tubuh ini bentuk visual yang dihadirkan kepada penonton dari bayangan isi kepala perempuan narasi tadi—mungkin bisa kita sebut dengan Ibu.

Ibu seakan sedang menceritakan ketakutannya terhadap posisinya sebagai seorang “ibu”. Ketakutan-ketakutan itulah yang membawa narasi cerita, hingga merunut kepada peranan seorang ibu di dalam sistem kekerabatan yang bernama matrilineal. Narasi pun, kemudian, tidak bisa lepas dari cerita kaba. Muasal dongeng perempuan dalam cerita tradisi Minangkabau tersebut.

Datangnya kelapa gading sebagai penutup dari narasi tersebut seakan memberikan kesimpulan terhadap inti titik ke berangkatan narasi itu. Kelapa gading meninggalkan jejak (trace), jejak tentang Bundo Kanduang, tokoh kaba Cindua Mato, tokoh perempuan yang paling populer dan saat ini tetap menjadi ikon perempuan-perempuan Minangkabau. Mungkin hal inilah yang menjadi kegelisahan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini.

Bundo Kanduang, seorang pemimpin (raja) Minangkabau pada saat itu (jaman di dalam kaba) tidak memiliki suami atau pendamping tetapi memiliki anak. Namun, cerita Bundo Kanduang ini tidaklah menjadi aib atau malu bagi orang identitas Minangkabau, karena di kaba tersebut diceritakan bahwa Bundo Kanduang dapat melahirkan seorang anak setelah minum air kelapa gading.

Secara norma ketimuran, bukankah hal tersebut sebuah aib besar. Seorang perempuan tanpa bersuami bisa memiliki anak. Namun kenapa tidak menjadi sebuah aib, malah Bundo Kanduang tetap menjadi ikon bagi masyarakat Minangkabau, khususnya perempuan? Kabalogi atau Tambologi, apa itu?

Bacalah Tubuh (ataukah Karakter)

Penataan lampu yang kurang siap membuat pertunjukan ini kurang enak untuk dinikmati. Sepuas-puasnya. Padahal pergulatan tubuh yang apik dengan narasi cerita yang terstruktur sangat sayang terlewati. Alur cerita yang berlangsung dengan (dominan) tubuh, yang tentu saja bahasa pun berlangsung dengan tubuh. Bagaimana seonggok tubuh dapat menyampaikan sebuah cerita ke kepala penontonnya tanpa muntahan kata-kata.

Tubuh lahir menjadi identitas yang paling inti. Namun, walaupun sebagai yang paling inti tubuh tidaklah menjadi mutlak. Namun pada pertunjukan ini, lagi-lagi, tubuh dihadirkan sebagai sebuah mesin, bukan tubuh sebagai sebuah rasa yang mempunyai hakikat tubuh yang lengkap. Tubuh-tubuh itu, yang sebagai orok-orok, tidak lagi mempunyai jiwa, emosi, dan hasrat batin. Bahkan untuk dirinya sendiri—personal—pun tidak. Karena tubuh tidak hanya sekedar seonggok daging mentah yang mesti digerak-gerakkan begitu saja.

Estetika tubuh yang ditampilkan, luar biasa, bahkan melampaui gerakan abnormal tubuh itu sendiri. Yang menghasilkan sebuah alur cerita yang ingin disampaikan oleh pertunjukan itu sendiri. Mulai dari tiga sosok tubuh yang terbungkus di dalam kantong plastik yang bergerak-gerak namun tetap terikat pada sumbunya. Membawa ingatan kita pada sesosok orok di dalam rahim yang mempunyai tali pusar ke tubuh induknya. Namun ketiga sosok orok itu cenderung mengarah pada pergulatan estetik tubuh yang sama.

Tidak adanya karakter yang membedakan bahwa ketiga sosok orok itu menjadi tubuh yang berbeda. Tidak ada identitas di dalamnya. Tiga sosok orok itu menjadi sia-sia, ataukah ada maksud lain di balik kesamaan tiga sosok orok itu. Kalau memang ada kenapa tidak ada perbedaan, karena sebuah maksud bisa ditandakan dengan sebuah identitas.

Karena tubuh bukanlah mesin. Sebagai tubuh yang lengkap tentu saja membawa sebuah karakter sebagai sifat dan sifat itu melahirkan sikap sebagai identitas.

Bacalah Atas Nama

Simbol, akan selalu hadir di tiap jengkal jalan pertunjukan, karena tanpa simbol maka pertunjukan akan menjadi sia-sia. Di dalam pertunjukan ini beberapa simbol keminangkabauan dicoba (kembali) diusung ke atas pentas. Walau telah dibawa ke dalam konteks kekiniannya Minangkabau dalam lingkup ke modernnya.

Beberapa simbol penting itu hadir, walau itu berbentuk kata maupun bentuk lakuan pemainnya. Beberapa yang tercatat—dan mungkin saja ada yang luput atau terlewati—seperti sosok seorang ibu, buah kelapa gading, dan beberapa kata yang menandakan identitas seorang Minang. Begitu juga dengan gerakan blocking ketiga orok itu dari satu tempat ke tempat yang lainnya, yang menyimbolkan pencarian identitas laki-laki Minangkabau dalam perantauannya.

Namun terkadang simbol itu juga menjadi menyesatkan dengan tidak adanya melahirkan teks yang lain di luar itu. Ada beberapa simbol yang hadir, yang mencoba untuk membongkar masih hadirnya Minangkabau saat ini, namun lagi-lagi simbol itu menjadi kosong, hanya sekedar penanda yang habis di atas pentas, tidak ada kelanjutannya yang akan melahirkan pemahaman konteks Minangkabau yang baru, masih berkutat pada pergelutan lama yang tidak ada habisnya.

Walau begitu, setidaknya, pementasan ini telah menghabisi penontonnya dengan tubuhnya. Dengan bahasa-bahasa tubuh yang melahirkan simbol-simbol yang mesti dibawa pulang. Tubuh-tubuh itu berhasil menyampaikan kata-kata kepada penontonnya. Dan penonton dipaksa untuk membaca kata-kata itu. Seperti dialognya yang sering terlontar, “baca!”

Ya, baca! Bacalah atas nama apa saja tentang apa saja.

 

Tambologi Fans Page on Facebook

Tambologi Twitter Update

About Tambologi Theatre

Different ThemesTeater Tambologi is a theatre group based in the small town Padang-panjang, West Sumatra, Indonesia, founded by Dede Pramayoza and Wendy HS in 2006. Teater Tambologi engaged in theatre studies and practice, performing arts and also cultural activities related to the tambo, randai, Minangkabau culture, and humanity at large.

Teater Tambologi
Jl. Rohana Kudus Perum Graha Citra Mandiri Blok C No.4 Kel. Kp. Manggis, Padangpanjang Sumatera Barat 27111
email: tambologi2006@gmail.com url:www.teatertambologi.org