Sandiwara Arwah

Sandiwara Arwah yang menjadi produksi pertama Teater Tambologi adalah bentuk tafsir ulang atas lakon Purgatory, karya W.B. Yeats, Terjemahan Dian Ardiansyah. Lakon asli Purgatory sendiri berkisah tentang seorang Lelaki Tua dan Anak Lelakinya yang berdiri di depan sebuah rumah tua hancur. Sang Anak yang tengah tumbuh menjadi pemuda itu mengeluhkan pengembaraan panjang yang harus ia tempuh bersama ayahnya. Ia mengeluh karena sepanjang perjalanan ia haarus menyandang barang-barang berat bawaan mereka berdua sembari harus pula mendengarkan cerita sang ayah yang tak henti-henti.

Bukannya mendengarkan keluhan anaknya, sang lelaki tua malah memerintahkan pemuda itu untuk mempelajari rumah, yang baginya merupakan tempat yang penuh kenangan, tempat ia merasakan persahabatan, cinta, lelucon, dan penghianatan. Meskipun sang anak mencemooh kenangan yang menurutnya sia-sia itu, Pak Tua terus melanjutkan cerita dan kenangannya. Ia memaksa anaknya untuk terus duduk dan mendengarkan ceritanya tentang rumah itu; rumah milik ibunya --atau nenek sang anak -- di mana Pak Tua dilahirkan.

Sementara sang pemuda tidak melihat kenangan apa pun atas rumah itu. Baginya rumah itu tak lebih dari sebuah rumah yang hancur. Namun sesaat ia terhanyut juga oleh cerita sang ayah tentang orang-orang yang telah mati, yakni nenek dan kakek yang tak pernah dikenalnya. Sang ayah yang semula bercerita dengan maksud memperkenalkan orang-orang itu pada sang anak akhirnya malah terhanyut dalam cerita tentang kegagalan dan dosa-dosa jiwa-jiwa yang telah mati itu. Mereka mereka yang sepanjang hidupnya menderita dan mati tanpa sempat memohon pengampunan. Merasa jengah dengan cerita yang tidak lagi menarik, sang anak bermaksud meninggalkan Pak Tua sendirian. Namun Sang Ayah yang tak rela, membuat tipu daya agar anaknya tetap tinggal dan membunuh anaknya sendiri, agar tetap mendengarkan ceritanya.

Teater Tambologi melihat cerita Sandiwara Arwah ini sebagai sebuah metafora dari perjalanan hidup generasi ke generasi dalam berbagai bidang kehidupan. Generasi tua seringkali mencoba menunjukkan kehebatan masa lalu melalui cerita-cerita dan sejarah, yang ironisnya malah menjadi beban tersendiri bagi yang muda. Cerita-cerita itu bahkan seringkali mengungkapkan kejahatan, kekelaman masa lalu, hal yang seharusnya disembunyikan. Namun demikianlah kenyataannya cerita cerita sejarah (his-story) justru terbelah antara menceritakan sejarah kejayaan dan kemuliaan dengan sejarah kemunafikkan dan penghianatan. Suatu keterbelahan, yang menghasilkan generasi yang terbelah pula, antara sikap historis atau a historis. Suatu keterbelahan yang mungkin sekali akan menghasilkan generasi yang ‘mati’.

Gagasan-gagasan semacam inilah yang coba diwujudkan Teater Tambologi dalam Sandiwara Arwah. Pilihan Teater Tambologi dalam garapan kali ini adalah menemukan simbol-simbol melalui eksplorasi dengan berbagai benda dan spektakel, untuk mewujudkan Sandiwara Arwah (purgatory) yang baru. Sebuah pilihan yang diharapkan Teater Tambologi dapat menjadikan Sandiwara Arwah menjadi lebih segar dan menghibur, sembari meraba kemungkinan artistik baru yang cocok bagi Teater Tambologi dan dapat ditawarkan pada gelanggang penciptaan seni teater secara luas.

 

Tambologi Fans Page on Facebook

Tambologi Twitter Update

About Tambologi Theatre

Different ThemesTeater Tambologi is a theatre group based in the small town Padang-panjang, West Sumatra, Indonesia, founded by Dede Pramayoza and Wendy HS in 2006. Teater Tambologi engaged in theatre studies and practice, performing arts and also cultural activities related to the tambo, randai, Minangkabau culture, and humanity at large.

Teater Tambologi
Jl. Rohana Kudus Perum Graha Citra Mandiri Blok C No.4 Kel. Kp. Manggis, Padangpanjang Sumatera Barat 27111
email: tambologi2006@gmail.com url:www.teatertambologi.org