KABAR DARI NAGARI LAKI-LAKI

Kabar dari Nagari Laki-laki adalah Judul Kecil yang dipilih Teater Tambologi untuk pementasan Tambo Rantau. Judul ini dipilih karena beberapa pertimbangan. Diskusi Teater Tambologi perihal rantau, menunjukkan bahwa banyak hal yang berubah dari tradisi merantau dalam masyarakat Minangkabau.

Kabar dari Nagari Laki-laki melihat institusi rantau sebagai satu di antara tiga lembaga pendidikan informal penting dalam budaya masyarakat Minangkabau, di samping Surau dan Lapau. Merantau, dianggap sebagai salah satu bentuk “ritus inisiasi” kedewasaan seorang anak laki-laki. Merantau, bahkan sudah dimulai ketika seorang remaja meninggalkan rumahnya setiap malam dan menghabiskan malam bersama teman-teman sebayanya di Lapau dan Surau. Setelah itu, seorang laki-laki bahkan harus meninggalkan kampung halaman, untuk menemukan ‘identitas’nya di negeri orang. 

Kabar dari Nagari Laki-laki mencoba melihat kembali bahwa budaya merantau pula, yang menyebabkan ‘rumah’ sebagai tempat dan ruang menjadi kosakata yang sangat ‘perempuan’ bagi masyarakat Minangkabau. Seorang Laki-laki, tidak pernah memiliki ‘rumah’ seumur hidupnya. Di masa kecil, ia berumah di kediaman Ibunya, kemudian di kediaman Istrinya jika telah menikah, dan dikediaman Anak Perempuan atau Adik Perempuannya, jika ia telah tua. Rumah para laki-laki, adalah pengembaraannya, atau bahkan dirinya sendiri. Yang dimiliki para laki-laki Minangkabau, adalah ‘Nagari’. Mereka terbiasa dengan terminologi ‘Nagari Urang’ dan ‘Nagari Awak’, untuk membedakan, antara ‘rantau’ dan ‘kampung halamannya’. Perjalanan merantau, sejatinya adalah mendatangi ‘Nagari Urang’ dan membandingkannya dengan ‘Nagari Awak’.

Budaya merantau, menyebabkan para laki-laki Minangkabau terbiasa dengan ‘persinggungan’ budaya. Jika bicara tentang ‘kaum urban’ Minangkabau, sesungguhnya adalah membicarakan ‘para laki-laki’ itu sendiri. Merantau adalah ‘urbanisasi’ sesungguhnya. Perpindahan yang terus-menerus dari setiap generasi Minangkabau, menuju domain baru, menuju cara berfikir yang baru, menuju kehidupan yang baru. Tidak saja itu, merantau adalah pergulatan terus-menerus dengan keadaan baru, dengan paradigma yang baru, proses beradaptasi, berkonfrontasi dan berkolaborasi. ‘Merantau’ dan ‘rumah’, sejatinya adalah hal yang sama, karena rumah, tempat berdiam para laki-laki minangkabau, adalah ‘perantauannya’. ‘Rumah’, tidak pernah dimaknai sebagai ‘tempat’ dan ‘ruang’, melainkan ‘gagasan’ dan ‘pengalaman’.

Adapun basis dari perantauan itu, perpindahan itu, di masa lalu adalah perpindahan ‘tubuh’. Seorang perantau, dalam pengertian konvensional, adalah orang yang meninggalkan kampung halaman bertahun-tahun, menemukan ‘kebenaran’ dan nilai-nilai kehidupan di negeri orang, lalu pulang. Migrasi para perantau adalah migrasi yang total, ‘tubuh’ dan ‘pikiran’. ‘Kebenaran’ yang diyakini  para perantau, adalah kebenaran yang tidak saja ‘internal’ dalam kesadarannya, namun juga ‘refleks’ bagi organ tubuhnya. Para perantau Minangkabau masa lalu, adalah perantau yang ‘utuh’.

Lalu kini, sebuah ‘globalisasi’ mengantarkan ‘rantau’ itu ke rumah-rumah, dan merubah makna ‘perantauan’ bagi setiap orang Minangkabau. Merantau masa kini adalah berjam-jam mengitari dunia cyber. Mengunjungi negeri-negeri lain lewat informasi yang terdistorsi. Atau bersinggungan dengan orang-orang dari berbagai benua, melalui perantaraan satelit dan jaringan. Tidak ada lagi ‘pergi’ dan ‘pulang’, dan bahkan sukar membedakan antara ‘rantau’ para laki-laki itu dengan ‘rumah’ perempuan. Jika pun para laki-laki Minangkabau masih merantau dengan tubuhnya, mereka tidak pernah pula ‘pulang’, sebab setiap saat mereka merasa telah berada di ‘Nagari Awak’ dengan perantaraan satelit dan Jaringan itu. Setiap saat, setiap laki-laki yang berada di ‘Nagari Urang’ dapat membuat komparasi dengan kampung halamannya dengan SMS, atau ruang chating. 

Ruang dan waktu ‘rantau’ telah dikaburkan, demikian pula identitas. ‘Rantau’, menjadi kehilangan vitalitasnya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau kontemporer. Tidak membangggakan lagi bicara tentang ‘rantau’, bahkan berdebat tentang makna ‘rantau’ bagi laki-laki Minangkabau. Tapi benarkah itu adalah soal kemajuan tekhnologi informasi belaka? Atau bukan tidak mungkin, soal utamanya adalah karena ‘hakikat’ merantau telah dilupakan?

Hal-hal yang demikian kompleks perihal rantau tersebut di ataslah, yang ingin diekplorasi sedemikian jauh oleh Teater Tambologi, dalam sebuah pementasan yang secara lengkap diberi judul: Tambo Rantau: Kabar dari Nagari Laki-laki.

Rantau, aku semakin dekat. Seperti petuah Amak menjelang pergi, atau bedak yang kukenakan tiap habis mandi. Begitu dekat, bak terseruput dalam minuman kaleng dan mi instant yang kubeli pengganti nasi. Terlalu dekat, hingga tak tampak lagi jalan pulang. Tapi apa lagi artinya pulang, jika setiap sudut kampung telah berubah. Menjadi asing dan tak santun lagi. Seperti dendang yang sayup-sayup seperti azan subuh, selalu terdengar: Keratau madang di hulu, buahnya jatuh ke tanah gembur, merantau hilangkan malu, di kampung hotel dan warnet tumbuh subur

 

Tambologi Fans Page on Facebook

Tambologi Twitter Update

About Tambologi Theatre

Different ThemesTeater Tambologi is a theatre group based in the small town Padang-panjang, West Sumatra, Indonesia, founded by Dede Pramayoza and Wendy HS in 2006. Teater Tambologi engaged in theatre studies and practice, performing arts and also cultural activities related to the tambo, randai, Minangkabau culture, and humanity at large.

Teater Tambologi
Jl. Rohana Kudus Perum Graha Citra Mandiri Blok C No.4 Kel. Kp. Manggis, Padangpanjang Sumatera Barat 27111
email: tambologi2006@gmail.com url:www.teatertambologi.org